Gunpowder Milkshake aksi ‘sisterhood’ tanpa latar belakang jelas

Gunpowder Milkshake aksi sisterhood tanpa latar belakang jelas
Karen Gillan ‘ Gunpowder Milkshake’ Perempuan jika ingin eksis di dunia kekerasan, maka harus unggul segalanya dari pria, pesan ini pun telak sampai meski saya masih menganggapnya  ; ahhh.. apalah artis sebuah film, hanya sebuah hiburan belaka!

POJOKSINEMAFeminisme Hollywood di industri film masih menjadi jajanan yang menggiurkan, seperti yang dilakukan Gunpowder Milkshake pabrikan StudioCanal.

Film aksi seru dan petualangan ini masih menjajakan problematik drama ibu-anak yang akrab sesekali menghibur.

Sutradara kelahiran Israel, Navot Papushado dengan Gunpowder Milkshake telah menghadirkan dunia semu dan aneh secara visual dalam penuturan cerita.

Namun, kualitas tampilan desain produksi lewat visual efek yang disajikan ‘sarat’ lebih baik ketimbang kebinaran para bintangnya sendiri.

Bahan peluru dari senjata api yang keluar dari moncongnya seperti ingin mempelopori Gunpowder Milkshake sebagai film yang bisa saja diusung sebagai franchise selevel Marvel Cinematic Universe.

Hanya saja, Gunpowder Milkshake masih butuh waktu panjang untuk meleluasakan diri menjadi genre thriller-action yang jempolan!

lena headey
Lena Headey Yang sedikit mencuri perhatian dalam Gunpowder Milkshake adalah bintang muda Chloe Coleman yang berperan sebagai Emily, bocah berusia 8 3/4 tahun.

Masih semu, mengingat bahasa gambar yang disajikan dengan efek visual yang baik tadi, hanya di bungkus datar saja.

Plot dalam cerita di awal, saya ( penulis ) berharap bahwa akan tampil tokoh kharismatik yang mendengki -bersama dendam sumpah serapahnya di masa lalu- tapi rupanya Papushado dan Ehud Lavski yang membidani naskah cerita Gunpowder Milkshake gagal menggunakan toleransinya.

Namun, Navot Papushado juga tidak ingin kendur dengan mengawasi jalannya sinematografi yang dikendalikan Michael Seresin untuk membentuk ruang visual yang menarik sedemikian rupa layaknya film-film aksi kasta mahal.

Meski adegan pertarungan fisik secara koreografi belum cukup terkoordinir untuk menumpahkan scene-scene adu jotos yang dahsyat.

Feminitas yang sebenarnya tak langsung menjadi premis egosentris Gunpowder Milkshake berbeda dengan banyak film-film laga seperti lainnya yang mempertemukan adegan baku hantam sesama perempuan.

Namun aksi sisterhood Gunpowder Milkshake , bila anda sadari- justru melakukan perlawanan dengan gen pria, nyaris tak ada pertarungan dengan sesama wanita di film ini.

Perempuan jika ingin eksis di dunia kekerasan, maka harus unggul segalanya dari pria, pesan ini pun telak sampai meski saya masih menganggapnya  ; ahhh.. apalah artis sebuah film, hanya sebuah hiburan belaka!

Anda ingat ketika aktris Uma Thurman berperan sebagai Bride dalam Kill Bill Vol. 1 dan 2 ?

baca : Originalitas trilogi horor Fear Street yang menggugah selera

Maka kita akan melihat bagaimana Bride dengan sendirian menghabisi satu persatu musuhnya hingga di keroyok membabi-buta oleh lawan-lawannya mulai dari pria dan wanita.

Meski kita pun tak akan menganggap Bride sebagai jagoan.

Yang sedikit mencuri perhatian dalam Gunpowder Milkshake adalah bintang muda Chloe Coleman yang berperan sebagai Emily, bocah berusia 8 3/4 tahun.

Bocah tanggung ini mendadak cerdas saat ia harus ‘bergumul’ sifat dan tabiat Samantha ( Karen Gillan ), pembunuh yang ditugaskan organisasi The Firm untuk menuntaskan misinya sesuai perintah.

Dalam situasi kritis – saat Samantha tertembak di lengan – kita akan melihat betapa Emily sontak menjadi anak cerdas seketika dengan gerak cepat.

Bahkan sebelum scene baku hantam dan baku tembak di mulai pada menit-menit menjelang akhir, kita akan diperlihatkan Emily yang tiba-tiba ingin jadi ‘pendekar cilik’ yang ingin andil dalam pertempuran sengit.

Film Gunpowder Milkshake memang tak sepenuhnya memiliki orisinalitas cerita, kenapa demikian?

Jika saya sebut tadi ada organisasi The Firm, maka tak berbeda dengan John Wick yang memiliki Continental.

Yang menggelitik adalah bagaimana sisterhood ala Gunpowder Milkshake memiliki para petarung dan pembunuh lihai tanpa kilas balik dimana dan bagaimana mereka melatih diri?

Navot Papushado jelas ( bagi saya ) sangat setengah hati memperlakukan plot cerita dengan implikasinya, hingga dengan praktis menjadikan mereka ; Samantha (Karen Gillan ), Scarlet ( Lena Headey ), Madeleine (Carla Gugino ), Anna May ( Angela Bassett ) dan Florence ( Michelle Yeoh ) sebagai pembunuh terlatih yang kuat – tapi disayangkan hanya mengandalkan penuturan latar belakang konflik saja.

Padahal sebenarnya, saat tokoh tokoh seperti Scarlet, Anna dan Florence dimunculkan sebagai sosok pustakawan yang memiliki senjata di dalam buku perpustakaan, saya berharap bakal menjadi keren, namun begitulah sebuah harapan dalam menonton film. (Q2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *