
POJOKSINEMA – Selama hampir enam jam trilogi Fear Street Part One : 1994, Fear Street Part Two : 1978 dan Fear Street Part Three : 1666 berhasil mencampakkan saya dari kejenuhan menonton film-film horor kasta murah meriah.
Trilogi Fear Street, sepertinya memang dibangun untuk menerabas habis pola industri yang belakangan tampak monoton, bahkan produser dan sutradara sekelas James Wan yang ikut andil melahirkan sebuah metamorfosa genre horor – dengan memadukan formula west and east – juga tak bisa banyak berbuat dengan trilogi Conjuring-nya : untuk sekuel ketiga yang baru usai tayang di bioskop saya anggap biasa-biasa saja.
Kecenderungan film-film berbasis franchise memang sering bertahan dengan banyak pengulangan, artinya tak juga banyak berbuat untuk membentuk sebuah energi baru yang lebih segar sebagai kasta serial dan franchise.
Namun akan berbeda ketika Trilogi Fear Street berbicara lain dalam industri Hollywood yang juga sedang letoy karena dampak pandemi global.

Trilogi Fear Street mencoba meramu efek-efek seru dan kaget, seperti ketika kita bisa merasakan relaksasi kesenangan yang terjadi pada genre horor di era 80an.
Fear Street dengan tiga variannya, mencoba membuat sentuhan orisinil, bahwa kejengkelan dan keburukan dalam visual horor haruslah menjadi energi yang mampu menyayat rasa si penontonnya.
Premis supranatural yang di bangun Fear Street patut diacungi jempol ; tidak ribet dengan klisenya tapi tetap bertahan dengan originalitas cerita.
Fear Street juga mengajak kita untuk sekedar mengingat kembali dengan franchise Scream, yang sepenuh energi mengumbar teror hingga di akhir film.
Trilogi Fear Street cukup bertahan terampil terhindar dari elemen sunyi ber-malapetaka yang suram seperti kesuksesan Bird Box dan A Quiet Place.
baca : Till Death : wajah cantik Megan Fox bersimbah darah tapi tetap seksi
Fear Street berdiri dengan premis dan gayanya sendiri , yang bagi saya punya kekuatan untuk memberikan dampak dan pengaruh bagi sineas dan filmmaker Hollywood.
Jadi bukan tidak mungkin Hollywood yang juga gemar menjadi plagiator trend, akan melahirkan Fear Street lainnya.
Film ini juga menghindari kejengkelan rasa, bagaimana upaya sutradara Leigh Janiak dan studio mengolah para karakter survivor berjibaku saat harus berhadapan dengan iblis-iblis ‘jagal’.