
POJOKSINEMA – Film drama thriller The Girl Who Got Away yang sangat menarik mengisahkan perempuan bernama Christina Bowden (diperankan Lexi Johnson), seorang guru sekolah dasar yang mengadopsi seorang gadis remaja bernama Lisa Spencer (Willow McCarthy).
Christina Bowden dengan masa lalunya yang sangat suram dan gelap menjadi alasan yang cukup baik untuk memberikan naratif bahwa film ini ( sebenarnya ) punya kesungguhan dalam mengantarkan plot cerita dan dramaturginya yang klimaks dan punya serat ketegangan yang kuat dan kreatif
Namun demikian Michael Morrissey , sutradara dan penulis cerita The Girl Who Got Away, ingin lebih meluas memberikan problematik yang kian njelimet bagi tokoh Christina dengan ambisi dan trauma psikologisnya.
Cerita The Girl Who Got Away secara perlahan beranjak menjadi ramuan thriller-suspense dengan polesan intrik yang cukup serius untuk disimak.
Perihal berkeliarannya seorang pembunuh maniak yang dalam pencarian, Elizabeth Caulfield ( Kaye Tuckerman) menjadi konsep yang terpecah dengan kehadiran Christina sendiri, namun tetap terjaga ikatan ceritanya.
Bukan saja alur flashback dengan beberapa adegan kebrutalan yang disajikan cukup mencekam dan kejam, tapi kita juga berupaya sekuat tenaga untuk membentuk kesepakatan akal sehat bahwa Christina dengan taruma kelamnya masih menjadi masalah besar bagi kesehatan jiwanya.

Christina harus terus mengalami tidur malamnya dengan aksi ‘sleepwalker’.
Bahkan seorang petugas polisi Jamie (Chukwudi Iwuji) harus rela memantau keadaan Christina sepanjang malam dari depan rumahnya dengan berjaga, sebelum jamie juga memergoki aksi sleepwalker Christina di suatu malam.
Kita juga akan digiring dalam situasi antara siapa yang harus kita berikan kepercayaan Christina kah? Atau si Pembunuh?
Ayun mengayun plot The Girl Who Got Away seperti tak ingin berkesudahan, Michael Morrissey sesaat seperti ingin menggiring narasi melanskap jauh dari kendalinya.
Nyaris , saya ( penulis) seperti ingin menikam The Girl Who Got Away sebagai film thriller yang hanya ingin bermain durasi panjang saja.
Namun setelah saya coba untuk legowo menikmati jalinan ‘flashing’ nya ternyata Morrissey tanpa kegagalan membungkus ending, dengan memberikan kemenangan secara emosional, psikologis kepada Christina.

Semua dipaparkan Morrissey dengan alasan yang cukup logis.
Bagaimana pada akhirnya semua alasan itu menjadi kata sepakat ending, bahwa Christina adalah korban kebiadaban masa lalu atas perbuatan seorang pembunuh keji yang harus diselamatkan kehidupannya di masa datang.
baca juga yah : Beckett : film thriller aksi yang loyo dalam penanganan naskah
Sejatinya tingkat kerumitan naratif seperti inilah yang pada akhirnya harus kita maklumi sebagai penonton film genre thriller yang di produksi dengan budget minimalis.
Artinya , penonton juga harus mempersiapkan diri untuk merekam ingatan kepada bagian-bagian naskah yang silang-menyilang sebagai clue untuk meloloskan Christina dari endapan trauma psikologis , amarah, dendam di masa lalunya.
Segalanya berangkat dari 1998. (Q2)