
POJOKSINEMA – Dengan masa pengambilan gambar tak lebih dari dua minggu, film thriller-horror psikologis The Alpines akhirnya punya kekuatan untuk memberikan ketegangan yang sangat menghibur.
The Alpines lahir sebagai ide cerita segar dengan biaya produksi yang relatif murah tapi sangat meriah.
Dengan membungkus drama tujuh anak muda yang saling bertemu- setelah tujuh tahun mereka saling tidak komunikasi satu sama lainnya – The Alpines memulai sebuah teka-teki misteri tentang siapa asal muasal diantara mereka yang memberikan undangan pertemuan di sebuah kabin di tengah hutan.
Kita akan menyimak bagaimana diantara mereka saling tuding hal ikhwal siapa yang ,mengawali cerita undangan reuni akhir pekan di kabin tersebut.
Tak satupun diantara mereka menyadari bahwa ide reuni itu adalah muslihat belaka yang bisa saja berakhir petaka bagi seluruhnya.
Kecurigaan pun hadir bahwa mereka tidak sedang bertujuh, namun ada penguntit yang mereka yakini bersembunyi di dalam hutan di sekitar kabin.
Film The Alpines dibintangi oleh Mally Corrigan, Aaron Latta-Morissette, Katrina Diehm, Jessie Mac, Niguel Quinn, Michael Taveira, dan Daniel Victor.
Film ini cukup berkompromi dengan akal sehat kita sepanjang durasi.

Dimana saya ( penulis) terus menerus diajak untuk menelusuri teka-teki karakter tersembunyi di antara mereka.
Setidaknya saya diharuskan ikut berlomba mencari ‘dalang’ dari ketegangan dan keseruan film ini.
Dialog dalam kemasan argumen-argumen konflik yang dilepas pun cukup menarik , tidak terkesan asal muntah.
Bahkan bagaimana upaya sutradara Dante Aubain -yang juga ditopang pengolahan naskah cerita dari Mally Corrigan – mempertahankan karakter para pemainnya juga terlihat sangat baik.
Intensitas ketegangan yang dirakit juga tak sembrono, artinya The Alpines tak sekedar film berbiaya murah, tapi juga ingin berkelas dengan genre setaranya.
baca juga disini : Zila Zuliza : setelah kolosal lanjut perankan karakter alter-ego
Pada akhirnya plot misteri yang dibangun sejak 20 menit pertama, secara perlahan mulai menampakkan jejak.
Tentu hal ini juga digiring oleh potongan scoring dan visual gambar yang mengajak kita untuk bersenang-senang dengan dramaturginya.
Meski, secara ending film The Alpines masih kurang mahfum untuk memberikan level kepuasan bagi sebiah genre horor-misteri dengan polesan thrillernya.
The Alpines mungkin bukan sebuah film yang sempurna, namun dengan area slow-burn yang dibuat, The Alpines telah berbuat maksimal apalagi soal karakter tadi yang cukup terampil untuk dipertahankan.
Setidaknya The Alpines dengan muatan psikologisnya menyiratkan banyak pesan dalam realitas kehidupan tiap tiap orang didalamnya. (Q2)