Antologi The Red Book Ritual, horornya bikin tegang juga bikin ketawa

the red book ritual
The Red Book Ritual

POJOKSINEMAFilm  antologi, The Red Book Ritual,  menjadi salah satu film horor yang cukup aneh di tahun 2022, meski dengan premis yang sangat sederhana.

.Adegan memulai dengan tiga orang remaja dewasa yang memainkan papan Ouija dan mencampurnya dengan cerita-cerita konyol mereka yang mengerikan dan menakutkan.

Film The Red Book Ritual adalah antologi yang memainkan peran cerita berbeda dalam tiap sub judul ceritanya.

Alhasil The Red Book Ritual bisa disebut cukup berhasil dengan ritual Ouija dan cerita konyol tiga remaja dewasa tadi dengan mempertaruhkan hidup mereka pada risiko-risiko yang sangat berbahaya.

Seyakin-yakinnya, saya (penulis) memberikan poin penting bahwa The Red Book Ritual cukup baik dengan rakitan elemennya dalam membangun ketegangan.

Meski saya juga harus menyayangkan cerita nan tegang yang dirilis selalu berakhir dengan sikap cerita yang kurang bertanggung jawab.

Menyaksikan antologi The Red Book Ritual, maka akan membawa anda menyeret kepada rasa takut sesungguhnya terhadap apa yang bakal terjadi selanjutnya.

Hanya saja yah itu tadi, rasa tanggung jawab antologi ini sangat ‘masa bodoh’.

Babak cerita bisa berakhir sesuka hati dan bahkan tidak menjadi klimaks karena yang saya rasa cerita tersebut belum selesai.

Antologi The Red Book Ritual terbagi menjadi 5 babak cerita berbeda tanpa kaitan sama sekali ; Stray karya Dean W. Law, Little One karya Logan Fields dan Chris Beyrooty, Nose Nose Nose Eyes! karya Jiwon Moon, Release karya  Daniel J. Phillips, dan The Sermon karya Dean Puckett.

Sedikit saya mencoba mereka ingatan  tentang sebuah film antologi bergenre horror-thriller-Sci-fi yang cukup menarik perhatian industry beberapa tahun lalu, berjudul Southbound.

baca :  Tanpa ‘surprise’ The Invitation tetap menarik horornya

Antologi Southbound cukup sukses dengan prinsip-prinsip cerita yang menakutkan, ngeri dan menyeramkan yang dihasilkan dari energy dan idealisme beberapa orang di balik film tersebut.

Nah bedanya, tiap-tiap pelaku antologi punya khazanah berbeda, mereka menentukan sendiri apa yang mereka bungkus tanpa sibuk meniru yang pernah ada lebih dulu.

Dan bagi saya, The Red Book Ritual – meski juga membuat saya tertawa menyaksikan kekonyolannya – juga sedikit membayar kerinduan saya untuk kembali menikmati genre horor berbasis antologi! ( Q2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *