
POJOKSINEMA – Saat saya tahu aktris watak Allison Janney main dalam film genre thriller –action berjudul “Lou”, maka saya menanti dengan antusias seraya harap-harap cemas seperti apa penampilan aktris peraih piala Oscar tahun 2017 ( Penampilan terbaik Pemeran pendukung utama) lewat perannya sebagai LaVona dalam film I, Tonya itu.
Alhasil, saya berhasil menebus rasa penasaran dan cemas kepada Allison Janney dalam “Lou”.
Janney mampu membentangkan kemampuannya sebagai bintang serba bisa diandalkan, meski perlu di catat , ini bukan film “Taken’ dengan si gaek Liam Neeson.
Tapi ini juga sedikit mengingatkan saya pada penampilan aktor watak nan tampan, Bob Odenkirk yang cukup berkesan dan mendapat sambutan bagus saat ia berperan sebagai Hutch Mansell di “Nobody”
Meski demikian, “Lou” tetap berbeda rasa dengan “ Taken” dan “Nobody” – namun masih tetap menjajakan drama-thriller-action yang dimainkan aktor watak.
Bersama “Lou” arahan sutradara Anna Foerster, telah membuat Allison Janney leluasa memberikan banyak ruang gerak dan nilai lebih kepada sebuah genre film.
Janney mampu bertahan dengan kualitas primanya ditengah penggarapan film yang seperti kikuk mau kemana, juga treatment skrip yang dilematis dengan kekonyolannya.
Janney juga harus bertahan dengan lawan mainnya yang berbakat Logan Marshall-Green dan Jurnee Smollett yang telah terjebak dalam tarik ulur plot.
Setting cerita di era 1980-an sebenarnya sangat menarik, apalagi di era perang dingin dan berkecamuknya perang saudara di wilayah teluk.
Namun alasan melatarbelakangi plot cerita seperti ini juga tidak mudah, jika di ditangani penulis cerita yang handal.
Meski saya mencatat, “Lou” jauh dari kesan politik.

Kisah “Lou” dan problematikanya hanya berkutat pada kekecewaan masa lalu yang menjadi rahasia seseorang.
Plot “Lou” terlempar jauh dari ekspektasi saya ( penulis) bahwa kegelapan akan terungkap dengan kejutan yang memuaskan saya sebagai penonton.
Film ini pada akhirnya harus berjuang keras menemukan ending klimaks dan jempolan, namun juga tidak seperti itu hasilnya.
Kita juga dipaksa oleh skrip untuk menerima Lou bukan saja sebagai perempuan tua yang sangat melindungi dan cerdas juga pintar beladiri, tapi bagaimana kita bisa menerima “Lou” sebagai penjahat yang sedang diburu CIA.
Kita juga harus berbaik hati menerima “Lou” dengan problem masa lalu dan masa kini : Lou dengan putranya dan Lou dengan menantunya sendiri.
baca yah : Ini nih..! film horor sejati paling mengerikan persembahan Speak No Evil
Karakter “Lou” akhirnya mengabdi pada sebuah instalasi cerita yang berserah diri pada ending saja.
Seperti lampu mercusuar yang memutar membentuk sudut gelap dan terang.
Sanjungan saya kepada Allison Janney memang tetap harus saya letupkan, bahwa bagaimana ia dengan kualitasnya tetap konsisten menciptakan “Lou” yang harus kita sukai, tanpa kecuali. (Q2)