Alhasil, Blood Red Sky yang sedikit dragging, harus lihai mencari jalan keluar menamatkan cerita.
Meski jujur buat saya, sangat tidak suka endingnya, terlalu menggampangkan.
Tapi sebagai film, maka Blood Red Sky cukup punya andil untuk menyuguhkan tontonan menghibur yang tidak kebanyakan menghayal dalam urusan plot.
baca juga dong disini : Gunpowder Milkshake aksi ‘sisterhood’ tanpa latar belakang jelas
Peter cukup berjasa untuk memberikan kehidupan dan penafsiran secara visual bagaimana para manusia di dalam pesawat telah mengantarkan nyawanya di dalam pesawat di atas ketinggian puluhan ribu kaki.
Dan secara disadari, ini bukan film tentang kecelakaan pesawat, tapi – pada akhirnya – secara miris disadari ; bagaimana para penumpang dan teroris hanya mengantarkan nyawanya karena Nadja, kecuali Elias dan Farid ( Kais Setti ).
Oh iya, Farid sebenarnya bisa di berdayakan lebih dalam lagi atas perannya dalam film, sayangnya sosok Farid hanya sebagai terlihat manusia biasa-biasa saja yang punya kenyamanan beradaptasi dengan Elias, tanpa berperan penting untuk memperkuat pondasi cerita.
Tapi mungkin juga, karena Blood Red Sky terlalu banyak pemain yang harus andil dalam tragedi di atas langit biru, maka pada akhirnya kita hanya asik bermain spekulasi dan melihat atraksi kucing-kucingan Nadja dengan para teroris di kabin.