
POJOKSINEMA – Silahkan anda bayangkan sendiri bila perjalanan ‘nahas’ anda dengan pesawat terbang harus mengalami pengalaman paling menderita, yakni : aksi terorisme dan pembantaian sadis yang dilakukan monster haus darah, seperti yang terjadi dalam film Blood Red Sky arahan Peter Thorwarth .
Film Blood Red Sky menjadi ekspektasi sebuah thriller intens dengan gimmick horor yang dibungkus dengan menarik.
Rombongan teroris yang semestinya sukses membajak pesawat Transatlantic dari Jerman menuju New York malah harus berhadapan monster berbentuk vampir yang sangat sadis.
Sebuah sentuhan baru ala Peter, untuk mengolah plot cerita jenis horor yang biasanya membuat banyak orang berteriak, malah Blood Red Sky lebih menjajakan aksi kesadisan vampir dan drama emosional antara ibu dan anak.
Namun, dari sini juga kita disajikan dengan eksekusi thriller yang maksimal, bagaimana Blood Red Sky memberikan pandangan dunia vampir yang sangat-sangat kejam.
Diawali dengan misi Nadja (Peri Baumeister) dan putranya berusia sepuluh tahun, Elias (Carl Anton Koch), untuk melakukan perjalanan ke Amerika Serikat naik pesawat dari Jerman ke New York.
Perjalanan Nadja dan putranya tentu punya alasan, yakni berobat untuk kesembuhan penyakit yang dideritanya.
Dengan ke New york, Nadja berharap dokter yang dihubungi dapat mengatasi penyakitnya dengan melakukan transfusi eksperimental.
Sayangnya, Nadja dan Elias, harus mengalami kesialan, saat segerombolan teroris membajak pesawat terbang yang ditumpanginya.
Kejadian ini, sebenarnya tanpa diketahui teroris dan penumpang lainnya justru bisa membuat hidup mereka dalam resiko yang tinggi, bila tahu siapa Nadja sebenarnya.
Kekerasan yang dilakukan para teroris membuat Nadja harus melindungi putranya.
Rupanya tidak mudah, Nadja terpaksa harus berhadapan dengan para teroris tersebut.
Demi melindungi putranya dan penumpang pesawat, maka monster batin Nadja pun harus keluar saat ia melihat aksi sadis seorang anggota teroris.
Tak ayal, baku bunuh nan sadis pun terjadi di dalam pesawat yang sedang berada di atas lautan samudera.
Apa yang dilakukan Nadja hanyalah mempertahankan hidupnya juga demi melindungi Elias dan manusia lainnya yang ada di dalam pesawat.
Peter Thorwarth yang turut menulis naskah dengan Stefan Holtz, berhati-hati dalam membagikan cerita Nadja.
Kita pun tahu sejak awal, bahwa Nadja memiliki kelainan dalam dirinya, yang berjuang sekian lama untuk mencari obat untuk menyembuhkan penderitaannya sebagai vampir.
Blood Red Sky memang belum lahir menjadi perlakuan sempurna sebagai film karya Peter Thorwath, tampak dalam beberapa scene, energi dramanya juga ikut melorot.
Mungkin karena durasi film ini juga lumayan panjang sekitar 2 jam!Q
Alhasil, Blood Red Sky yang sedikit dragging, harus lihai mencari jalan keluar menamatkan cerita.
Meski jujur buat saya, sangat tidak suka endingnya, terlalu menggampangkan.

Tapi sebagai film, maka Blood Red Sky cukup punya andil untuk menyuguhkan tontonan menghibur yang tidak kebanyakan menghayal dalam urusan plot.
baca juga dong disini : Gunpowder Milkshake aksi ‘sisterhood’ tanpa latar belakang jelas
Peter cukup berjasa untuk memberikan kehidupan dan penafsiran secara visual bagaimana para manusia di dalam pesawat telah mengantarkan nyawanya di dalam pesawat di atas ketinggian puluhan ribu kaki.
Dan secara disadari, ini bukan film tentang kecelakaan pesawat, tapi – pada akhirnya – secara miris disadari ; bagaimana para penumpang dan teroris hanya mengantarkan nyawanya karena Nadja, kecuali Elias dan Farid ( Kais Setti ).
Oh iya, Farid sebenarnya bisa di berdayakan lebih dalam lagi atas perannya dalam film, sayangnya sosok Farid hanya sebagai terlihat manusia biasa-biasa saja yang punya kenyamanan beradaptasi dengan Elias, tanpa berperan penting untuk memperkuat pondasi cerita.
Tapi mungkin juga, karena Blood Red Sky terlalu banyak pemain yang harus andil dalam tragedi di atas langit biru, maka pada akhirnya kita hanya asik bermain spekulasi dan melihat atraksi kucing-kucingan Nadja dengan para teroris di kabin.