Bonnie: Soal Laga, Belajar ‘Yang Tekun’ Dari Sineas Hong Kong

Tapi “Bonnie” tidak ingin saya seenaknya bandingkan kekayaan sinematografinya dengan film tadi. Karena maksud saya hanya mengenang saja. Bahwa pernah ada film laga kekerasan kalangan kaum muda di masa itu.

 

Pertarungan Rasa ‘Random’

Dan sebenarnya “Bonnie” masih bisa lebih dalam untuk powerfull menjual pertalian plot cerita dengan ‘camera shoot’ dan editing yang terampil. Sayangnya gagal dilakukan hingga film ini mengunakan baju genre-nya tanpa ‘taste’ sinematik yang kaya dan epic.

Bahkan pemeran utama aktor muda Livi Ciananta hanya mem-penetrasi diri dengan kesan gadis brutal yang membela kebenaran.  Meski ia juga menangis dan berdamai dengan ibunya Nadila Ernesta, belum cukup menggali banyak potensinya yang tersembunyi.

Dari elemen materi, film ini terkesan meleluasakan banyak hasrat cerita, namun juga lupa bagaimana tetap bertahan dengan performa labelnya sebagai genre drama-laga. Campur tangan koreografer laga yang kelewat banyak, juga bisa membuat adegan pertarungan dalam film ini menja rasa ‘random’.

Karena semua di bungkus lewat kemasan beladiri segala rupa!

baca dong : Begini Cara Velline Ratu Ayu Bantu Tuntaskan Masalah Manusia

Tidak ada scene pertarungan yang membuat saya kagum atau luar biasa dengan kemegahan epic visualnya. Semestinya, mungkin jika campur tangan CGI ikut andil memainkan perannya dalam banyak  ‘scene fighting’ saat postpro  -malah akan terasa mahal visual film ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *