POJOKSINEMA – Tidak ada parameter yang mutlak untuk membuat sebuah film yang laku, seperti halnya saya mempertanyakan, dimana nilai komersil “Harta, Tahta, Boru Ni Raja” ?
Pasalnya, memang tidak ada ilmunya, bahkan jika anda sampai ‘ngilmu’ ke Hollywood sekalipun.
Bagi saya (penulis) membuat film untuk di jajakan ke penonton, adalah sebuah bisnis yang punya unsur judinya, seperti istilah ‘bertaruh uang demi layar terkembang‘.
Agustinus Sitorus, tak semata merilis sebuah film budaya suku Batak (Sumatera Utara), tapi pun jika saya telaah “Harta, Tahta, Boru Ni Raja” adalah proyek ambisius yang garing untuk dicerna plotnya.
Jujur, saya sangat suka keelokan Danau Toba, yang banyak direkam media; baik televisi maupun fotografi, dari dulu hingga kini. Namun upaya “Harta, Tahta, Boru Ni Raja” untuk memberikan visual mahal keindahan Danau Toba hanya dibungkus biasa-biasa saja.
Lagi-lagi persoalan sinematografi film ini belum bekerja sebagaimana yang saya harapkan. saya tidak ingin mengulas jalan cerita film ini, karena sudah saya katakan tadi; garing, tidak greget dan jauh dari unsur komersil.