The Privilege : awalnya sih horor, tapi jadi gado-gado nih film

The Privilege : awalnya sih horor, tapi jadi gado-gado nih film
Padahal The Privilege telah mencoba dengan ramuan jump scare (awalnya) , sayangnya film ini tak mampu bertahan dengan rasa horor sejatinya.

POJOKSINEMAPada menit-menit awal menonton film The Privilege keluaran Netflix ini, saya berharap akan banyak sebuah kejutan dari genre horor Jerman ini, namun sayangnya hanya sepenggal harapan saja.

Horor The Privilege seperti sepiring gado-gado dengan keragaman bumbu dan sayurannya ; mulai dari sosok iblis yang samar, eksorsisme, pemujaan, proses memanggil arwah , kooky serta halusinasi.

Alhasil The Privilege tidak berdiri tegak bersama kemauannya menghibur penonton dengan taste horornya.

The Privilege menjadi sosok film dengan plot yang ingin terbang dengan dimensi-dimensi modernnya yang (bagi saya, penulis) agak buram alias abu-abu.

Padahal The Privilege telah mencoba dengan ramuan jump scare (awalnya) , sayangnya film ini tak mampu bertahan dengan rasa horor sejatinya.

Finn yang menjadi sentra cerita The Privilege, sebenarnya digambar dengan latar belakang yang cukup kompromistis untuk membentuk atmosfer horo dan ketegangan film ini.

Finn harus menyaksikan kematian kakak perempuannya yang tragis, saat ia mendapati sang kakak kerasukan roh jahat dan terjatuh dari ketinggian bendungan besar di waktu malam.

Beberapa tahun kemudian , Finn yang beranjak remaja harus berhadapan dengan halusinasi dan masa lalunya.

Pil aneh ( sebagai media yang ingin memperkuat plot cerita) yang dikonsumsi Finn , sebenarnya cukup mengkhawatirkan saya bahwa The Privilege akan kehilangan rasa horornya.

Sayapun bertanya-tanya ; apakah memang ada sesuatu yang menakutkan di tempat tinggalnya hingga ia terus mengalami peristiwa supranatural mengerikan? Ataukah memang ia selalu berhalusinasi? Atau bahkan bisa lebih dari ini?

Pertanyaan paling mendasar untuk memboyong emosi kita dalam alur cerita hingga sampai pada titik klise berikutnya.

The Privilege

Pertanyaan-pertanyaan ini pada dasarnya membentuk pilar utama di mana cerita ini bergerak secara mekanis dari satu titik plot klise ke titik berikutnya.

Padahal sebenarnya The Privilege juga punya kekuatan sinematografi yang bagus.

baca juga : Moonfall : Film bencana kiamat paling aneh dari Roland Emmerich

Beberapa scene terlihat cukup kuat menopang cerita film ini, namun demikian kekuatan inni juga tak setara dengan jumpscare murahan yang disematkannya.

Problem ini juga yang menjadikan film ini tak berdaya memberikan efek ketakutan yang menghibur.

Terlepas segala keterbatasannya , ada premis yang kuat dalam film ini, dimana pada saat tertentu mampu bekerja dengan baik.

Seperti saat film ini menampilkan seorang pelajar yang menancapkan pisau ke dalam mulutnya dan melompat dari atas gedung sekolah, cukup mengerikan dengan alasannya.

Lagi-lagi beberapa tampilan bagus, tak berhasil dipertahankan The Privilege, karena sedang asik lupa diri  dengan gelombang formula yang antah berantah, hingga menjadi gado-gado lontong, mungkin. (Q2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *