Menjual pesona Toba beserta adat budaya masyarakatnya adalah pesan yang ‘sampai’ dalam film ini. Meski menjajakan frame beberapa minuman khas Batak ‘Tuak” bagi saya bukanlah pesona yang layak lagi di jual.
Mungkin karena saya melihat hampir banyak lapo di Jakarta, pasti ada minuman ‘Tuak’nya. Tapi kalau kain ‘Ulos’ saya setuju karena kerajinan tersebut adalah peninggalan nenek moyang masyarakat Toba.
Justru yang terlewat untuk diabadikan dan dijelaskan adalah kenapa Agustinus Sitorus yang bertindak sebagai penulis dan sutradara serta produser, tidak mengindahkan makam Sisingamangaraja XII yang juga ada di Toba.
“Telkomsel Awards 2024” Dukungan Bagi Industri Kreatif Digital
Sekedar mengingatkan, bahwa Presiden Soekarno pernah menggagas untuk memindahkan makam pahlawan Sisingamaraja XII. Namun hal itu tidak bisa dilakukan karena banyak alasan.
Dan juga, hampir semua masyarakat Batak tahu sejarah, siapa itu Ludwig Ingwer Nommensen, yang makamnya juga ada di Sigumpar, Toba. Makam misionaris kelahiran Jerman itu, kini juga menjadi wisata rohani.
Ada juga yang terekam dengan singkat, yakni bukit Batu Gantung, sayangnya film ini tidak menjelaskan tentang legendanya yang penuh aroma mistis.
Dan selebihnya “Harta, Tahta, Boru Ni Raja” hanya sebuah cerita film yang ingin mengembang biakkan formula dokumenter separuh hati dengan drama remaja yang tidak kokoh. Jadi, saya juga tidak ingin memberikan nilai bagi kualitas desain produksinya.
Mengawali dengan cerita tentang Jerry seorang mahasiswa akhir studi yang harus membuat skripsi dengan tema menjelajah tanah leluhuruhnya, bermarga Panjaitan. Jerry memang tidak mengenal leluhurnya. Hinnga ia bertemu dengan Ita yang menemaninya melakukan wisata sejarah dan budaya.