
POJOKSINEMA – Aktor veteran Stephen Lang adalah sosok mengesankan secara efektif yang masih didaulat memerankan tokoh Norman Nordstrom dalam invasi rumah menegangkan ‘Don’t Breathe 2′ yang agak manusiawi.
Namun sayangnya film ini tak punya rasa originalitas yang kuat seperti yang ada dalam film pertamanya Don’t Breathe (2016 ).
Film sekuel ini seperti vulkanisir dari film pertamanya, meski pada akhirnya film yang kali ini ditangani sutradara Rodo Sayagues – menjadi sangat berbeda rasa dengan film pertamanya.
Tema invasi rumah versi Don’t Breathe memang ingin berdiri sendiri sebagai franchise dengan kembali memasang aktor Stephen Lang.
Dalam instalasi kedua ini, karakter Norman Nordstrom tampil lebih lapang ( sebagai pengembangan) dengan ilmu licik dan bela-dirinya.
Jilid dua ini berhasil terbang lepas dengan formula cerita yang cukup menarik, meski terpaksa harus di karang tanpa berkaitan sama sekali dengan yang pertama.
Para pembunuh sadis dan kejam yang sengaja datang kerumah Norman yang terpencil di Detroit yang tertekan bersama para penduduknya.
Don’t Breathe 2 telah merelaksasi untuk tidak menumpang sedikitpun cerita dari film pertamanya, hanya saja film ini perlu bekerja keras untuk tampil tanpa melenyapkan sensasi ‘jangan bernapas’ yang sangat menegangkan itu!
Mengisahkan Norman yang kini tinggal bersama seorang anak gadis bernama Phoenix ( Madelyn Grace ).
Norman melatihnya kiat jitu menyelamatkan dan membela diri dari penjahat yang kelak meneror Phoenix.
Saya (penulis) berharap, Phoenix akan menciptakan sensasi -saat melawan para penjahat yang menyatroni rumah Norman untuk menculiknya – dengan panggung tragedi fisik atas apa yang ia terima selama tinggal bersama Norman.

Namun demikian Don’t Breathe 2 masih ingin menguras habis-habisan peran Norman yang sangat relatif aman seperti film pertamanya yang menghajar tiga pemuda saat memasuki rumahnya tanpa izin.
Dalam film pertama Norman digambarkan jauh dari batas welas asih, bahkan untuk ketiga pemuda yang menyatroni rumahnya pun tak tahu rasa kasihan kepada Norman ; misi mereka hanya ingin membuat kegaduhan dalam rumah seorang veteran tua yang buta tapi hebat dalam rasa dan pendengaran.
Akan tetap jauh berbeda dengan naskah yang kali ini ditulis secara bersama oleh Rodo Sayagues dan Fade Alvares ( sutradara Don’t Breathe , 2016).
Kali ini Norman betul-betul sekuat tenaga menghabisi musuh-musuhnya tanpa ampun.
Kesadisan pun cukup meramaikan film ini.
Namun disisi lain, rupanya isi kepala Satyagues dan Alvares ingin menyajikan sentuhan manusiawi yang ‘lucu’ ( bagi saya) juga hingga membuat pelemahan karakter bagi Norman sendiri.
Norman yang punya alasan lebih kuat memburu dan menaruh dendam kepada penjahat yang membantai anjing kesayangannya, ketibang dosa dirinya sendiri yang pernah menyekap Cindy Roberts dalam keadaan hamil di ruang bawah tanah rumah lamanya dalam Don’t Breathe?
Lalu saya melihat lagi bagaimana para penjahat yang meng-invasi rumah Norman itu punya alasan bagus kenapa ia harus menculik Phoenix dari tangan Norman?
baca yang ini yah : The Protege : Chemistry baku hantam Maggie Q versus Michael Keaton
Dan bagaimana mendekati klimaksnya, Norman mendapat pengampunan nyawa dari seorang penjahat sadis yang hatinya tak rela jika Phoenix jatuh ketangan rekannya, hingga ia membebaskan Norman yang sedang di juju pistol?
Don’t Breathe 2 mencoba sedikit bermetamorfosis dari nilai luhurnya sebagai tema invasi rumah yang menegangkan dan seru penuh nuansa kelam.
Mungkin, film ini juga tak perlu melanjutkan instalasi ketiganya jika tak ingin kehilangan kendali atas apa yang diinginkan seperti dalam film pertamanya, bahwa peristiwa menegangkan dan kengerian cukup saja di olah di dalam rumah orang yang disatroni, tak perlu sibuk keluar rumah berpinda ke bangunan lain hanya demi mempertahankan formula dan sensasi ‘jangan bernapas’ itu.
Atau setidaknya saya berharap jika ada instalasi ketiganya, maka film ini harus membuat tradisi baru, bahwa Don’t Breathe adalah franchise sensasi ketegangan luar biasa dengan menampilkan karakter dan situasi berbeda! (Q2)