
POJOKSINEMA – Film debut Edoardo Vitaletti : The Last Thing Mary Saw, yang berkisah tentang kelompok Puritan di New England pada tahun 1843, menjadi sebuah studi kasus menarik tentang cinta terlarang dua gadis lesbi remaja Puritan di masanya; meski lagi-lagi kenapa harus nama ‘Mary’ yang selalu menjadi tumbal di banyak film horor.
Sinematografi The Last Thing Mary Saw, tak tampak megah karena memang David Kruta lewat bidikan kamera ingin menghidupkan era Puritan yang penuh keresahan dan kegelapan.
Betapa Kruta cukup mampu meleluasan ruang cahaya yang minimalis dan alami menjadi visual yang dramatik dengan kemasan dialog-dialog yang disuarakan dengan pelan dan tenang oleh seluruh pemainnya.
The Last Thing Mary Saw bergulir dengan plot cerita yang kalem , sunyi seakan sedang mengajak saya (penulis) untuk menyimpan rapih-rapih emosional saya.
Betapapun bertenaganya The Last Thing Mary Saw, bukan tampil tanpa kesadisan yang berkaitan dengan gadis-gadis Puritan New England.
Sebuah horor yang benar-benar hidup di tengah komunitas agama yang kaku dan bersinggungan dengan kekerasan atas pelanggaran yang dilakukan.
Film The Last Thing Mary Saw sangat efektif untuk sebuah pertunjukan, suasana, dan detail periode, dan cukup meyakinkan.

Elemen cerita yang digulirkan berhasil membentuk atmosfir horor originalitas dengan memanfaatkan beberapa momentum.
Ini penting untuk anda simak, mengingat The Last Thing Mary Saw berupaya keras mempropaganda cerita dengan kasus lesbian yang terjadi ditengah Puritan yang sangat menarik dan mencekam.
Sebuah debut yang memapas selera sempit penggemar horor dalam menyimak materi yang kerap menyuguhkan tampilnya aksi supranatural nan takjub serta aksi bantai membantai dengan banjir darah.
baca juga : Keren nih..! Horor aksi supranatural ‘Warhunt’ mendebarkan jantung
Kisah Mary ( dibintangi cukup bagus oleh Stefanie Scott ; Insidious chapter 3 ) yang menjadi terhukum karena aksi romantika sesama jenis, hingga kesesatan brutal yang ia lakukan dengan membantai seisi rumah, memiliki magnet tersendiri dengan nuansa kelamnya.
Vilateli telah memastikan film berbiaya rendah ini sebagai debut yang punya pengaruh bagi filmmaker lainnya, klimak bisa diciptakan dengan cara-cara unik seperti menodai atau memberikan goresan pedih bagi penontonnya. (Q2)