Mangku Pocong: Horor Folklore Yang Masih Doyan Jedag Jedug

Screening Mangku Pocong ( foto: Dudut Suhendra/pojoksinema.com )

POJOKSINEMAFilm horor berbasis folklore, masih menjadi primadona di layar bioskop, meski akhirnya seperti menjadi masalah baru bahwa para sianeas dan filmmaker tak punya keberanian untuk melempar ide cerita dan tema yang jauh lebih segar.

Hingga kini, layar bioskop terus dihuni oleh banyak subgenre horror yang yang menggerus tema-tema folklore, serupa tapi tak persis sama. Tapi semua juga dikemas dengan gaya yang juga nyaris sama.

Film terbaru karya sutrdara Chiska Doppert berjudul “Mangku Pocong” juga mengusung tema cerita tentang cerita mistis (sebanrnya) mengerikan di Jawa Tengah. Ceritanya sih umum saja dan telah bangak didengar; tentang seorang pengusaha kedai yang selalu laris jualan makanannya. Namun kalau di bawa pulang malah berbeda rasa alais tidak enak.

Pemilik kedai telah melakukan pesugihan  dengan bersekongkol dengan pocong yang menumpahkan air liurnya sebagai penyedap makanan di kedainya.

Awal tahun 1990-an bahkan saya (penulis) juga mendengar tentang sebuah resto terkenal di Jakarta yang issu-nya sang pemilik tersebut melakukan pesugihan di Gunung Kawi, Jawa Timur.

Kembali kepada “Mangku Pocong” sebuah cerita klasik yang sayanganya tidak banyak bergeming dalam meletupan plot cerita. Sejak awal film ini terlalu banyak elemen efek suara jedag-jedug; saya agak khawatir jika penonton masih menyukai pola ini.

Treatment jump-scare dalam “Mangku Pocong” juga sebenarnya sudah kuno, justru saya berharap bagaimana kekuatan misteri dan suspens film ini terbangun maksimal. Demikian juga untuk kekayaan pengambilan gambar, juga taka da yang istimewa. Alias sudah dilakukan banyak sineas lain untuk film horror.