Salah satu dari mereka, Kebaren, tewas, sedangkan Rusli (Omar Bach) cedera namun berhasil kabur. Kebaren berhasil ditemukan dan jenazahnya dimakamkan. Sedangkan Rusli dirawat secara diam-diam di rumah Kepala Desa. Sampai-sampai dia naksir kepada Tipi (Nizmah Zaglulsyah), putri kepala desa.

Bachtiar mengeksekusi filmnya dengan lugas, tanpa basa-basi. Dia melukiskan manunggalnya rakyat dan gerilyawan yang kompak dalam mengusir penjajah. Sesekali mereka tampak bergembira bersama-sama sebelum perang total terjadi. Sungguh terasa menyentuh.
Tampak betul ada gaya neorealisme di dalamnya, mulai dari kehidupan sehari-hari rakyat jelata, lokasinya yang orisinil di pedesaan Karo, hingga penduduk setempat yang antusias diajak syuting. Rupanya mereka bangga bisa terlibat sebagai figuran berikut perintilan budayanya seperti lagu tradisional macam Erkata Bedil atau Piso Surit atau rumah adatnya.
Di balik hadirnya lagi “Turang”, kita melihat sejarah kelam Orde Baru. Bachtiar Siagian memang bergabung dalam LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi dengan ideologi komunisme. Dia dibuang ke pulau Buru dan seluruh karyanya diberangus. Dan “Turang” menjadi salah satunya, namun akhirnya bisa diselamatkan lagi. (Bobby Batara)


