POJOKSINEMA – Film “Air Mata Mualaf” produksi Merak Abadi Productions dan Suraya Filem akhirnya tayang mulai 27 November di seluruh bioskop tanah air.
Sejatinya cerita yang disampaikan dalam film yang dibintangi Acha Septriasa dan Achmad Megantara ini adalah issue yang umum terjadi. Perbedaan keyakinan dalam sebuah hubungan keluarga adalah hal klasik yang sudah terjadi berabad lamanya.
Kisah tentang hijrahnya anak manusia menjadi seorang pemeluk Islam yang berasal dari bani Nasrani juga bukan hal baru. Semua ada alasan tentunya. Tapi ada persoalan menarik lain ketika Hidayah itu datang bagi seseorang untuk menjadi Muslim.
Acha Septriasa – seperti biasa tetap dengan performa gemilangnya – mampu mengembangkan karakter Anggi seorang Nasrani yang Hijrah dengan Hidayah-NYA.
Betapa Anggi sadar betul bahwa keputusan untuk menjadi mualaf adalah resiko besar yang harus ia terima. Keluarganya sangat tidak setuju dengan keputusannya. Akan tetapi Hidayah tidak memandang itu. Bagi Allah Sang Pemilik Semesta, apapun Yang DIa Kehendaki untuk terjadi maka Terjadilah.
Hidayah tidak hadir sebagai konteks memilih sebagai manusia. Namun Hidayah adalah Hak Istimewa Sang Khalik. DIA juga lah yang menentukan siapa manusianya; Yang Dia Kehendaki.
Nestapa Anggi saat mendapat pertentangan keras dari ayah, ibu serta kakaknya, justru membuat keyakinan atas pilihannya semakin kuat. Ada narasi yang tersirat ‘betapa keyakinan dengan modal ikhlas dan tulus kepada Allah adalah kekuatan terbesar bagi manusia’. Secara tersirat “Air Mata Mualaf” secara tegas menyampaikan itu.
Sisi lain dari cerita film arahan Indra Gunawan itu adalah cara pandang manusia terhadap Ketuhanan. Ini yang sebenarnya sangat komersil, jika saja penulis naskah Oka Aurora jeli untuk menggali lebih dalam tentang isu itu.
Komedi Keluarga Batak “Mertua Ngeri Kali” Menjadi Debut Bunda Corla di Layar Lebar
Akan jadi sangat komersil cerita klise ini, bila pemahaman tentang agama bagi dua sisi berbeda itu mampu dikembang biakkan dengan gaya yang lebih cerdas namun tetap fun sebagi film.
Dalam memformulasikan treatment, saya tidak melihat paduan konflik yang mampu menyayat batin saya sebagai penonton. Kesan tentang pindahnya keyakinan Anggi untuk memeluk Islam, hanya terurai sebagai fenomena umum saja. Artinya, naskah tidak berkembang menjadi paduan konflik yang kuat, tegas, greget, namun tetap nikmat diikuti.


