Kepemilikan Gedung Film di Jl. MT Haryono Kav. 47 – 48 Jakarta Selatan, saat ini gedung tersebut telah diambil-alih oleh Kementerian Pariwisata. Dahulu namanya Gedung Film, setelah diambil-alih oleh Kementerian Pariwisata, namanya menjadi Gedung Film Pesona Indonesia. Sebenarnya gedung tersebut adalah milik orang film, karena gedung tersebut dibangun dengan biaya dari hasil importasi film di jaman ORBA, ditambah tukar-guling gedung BSF (Badan Sensor Film) yang dulunya terletak di belakang Gedung Sarinah serta Gedung Dewan Film Nasional di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Kini masyarakat perfilman tidak memiliki hak atas gedung tersebut.
Perlu dibentuk Direktorat Jenderal (khusus) Perfilman yang membawahi beberapa Direktur, seperti Direktur Produksi Film, Direktur Pengembangan SDM, Direktur IPTEK Perfilman, Direktur Pengembangan Pasar dan Promosi Pefilman, Direktur Kebijakan Fiskal dan Perpajakan Film serta Direktur Advokasi dan Perlindungan HAKI Perfilman. Masing-masing Direktur dibantu beberapa Kasubdit dan Kepala Seksi yang mempunyai dana dan SDM memadai serta waktu yang cukup untuk menangani masalah perfilman yang kompleks dan inter-disipliner.
Dengan adanya Kementerian Kebudayaan, akan nampak sepenggal harapan bagi insan film. Belaku, baik pelaku kegiatan perfilman maupun para pelaku usaha di bidang perfilman.
Karena terbukti selama hampir dua dekade terakhir, masalah perfilman nasional tidak tertangani secara maksimal.
Beberapa hal seperti kurangnya alokasi dana dari Pemerintah,
SDM pada birokrasi yang kurang memadai kemampuannya dalam menangani masalah perfilman nasional yang kian kompleks dan multi-disipliner. Sehingga kedudukan Direktur Film yang digabung bersama Musik dan Media baru, praktis masalah perfilman hanya fokus ditangani oleh pejabat birokrasi setingkat Kepala Sub Direktorat (Eselon III).
Film selain berfungsi sebagai ”benteng budaya” Bangsa, kompleksitas perfilman juga mencakup unsur multi-disipliner seperti; Produksi film (ekonomi perusahaan), pengembangan SDM film (pendidikan kejuruan), pengembangan Jasa Teknik Perfilman (IPTEK), pengembangan pasar/promosi film (marketing dan periklanan), kebijakan fiskal dan Pajak Perfilman (Mikro Ekonomi), Advokasi dan penegakan HAKI (Hukum), dan lain sebagainya.
Menyadari kompleksitas dan kendala permasalahan di bidang perfilman tersebut menyebabkan film Indonesia belum menjadi Tuan/Nyonya di negeri sendiri. Film Nasional masih sering dianggap kurang mencerminkan wajah Indonesia dan kurang mampu menjadi “benteng” budaya Bangsa.