Sayangnya bintang muda berbakat Emir Mahira (sebagai David) tak terlalu menonjol aktingnya. Emir dalam Dear David seperti berdiri tegak sebagai symbol yang hanya dipuji saja.
David belum memiliki kesungguhan karakter bahwa ia adalah panel penting untuk menyelarskan ceritanya sendiri. Tugas Lucky Kuswandi sebagai sutradara untuk meleburkan treatment kreatifnya demi menyelamatkan karakter David.
Jika saya membalik cara memandang cerita, maka semestinya judul film ini adalah Dear Laras. Kenapa demikian? Karena sejak awal film ini memang untuk mendorong Laras saja.
Laras lebih memiliki kekuatan ketibang David sendiri yang terlihat susah payah membangun karakternya.
Bahkan naskah yang ditangani Winnie Benjamin dan Daud Sumolang pergerakannya cukup lamban. Jkka cerita remaja ini seputar percintaan dan persahabatan maka akan nada kemunafikan, hal yang mendasar.
Jika ada kemunafikan biasanya akan berwujud sebuah penghianatan sikap dan hati. Untuk itu kenapa kedua penulis Dear David tidak punya keberanian membakar emosinya.
Tidak serta merta sebuah kekhilafan manusawi harus dengan cepat di eksekusi permintaan maaaf dan rasa sesal. Namun konflik yang bertenaga juga perlu di sematkan agar warna film ini kian cerah dengan cerita dan karakter.
Ada yang sedikit menggelitik, dalam dialog kepala sekolah dengan Laras dikatakan ia adalah siswa dengan beasiswa atas prestasinya. Pertanyaannya apa prestasi Laras di sekolah??