Film “EVA: Pendakian Terakhir” perlu unsur suspense yang kuat

Meski demikian, film ini cukup bersahaja dengan tujuannya menghibur penonton mulai 16 Januari mendatang. Nilai lebihnya, para aktornya juga tidak buruk menampilkan kualitasnya. Begitupun yang harus saya puji adalah elemen dialog.

Cara bertutur dalam dialognya sangat santun, tanpa menggunakan kata ‘Gue” dan “Lo”, inilah yang patut saya akui keberaniannya.

Problemnya adalah ekspektasi yang tidak bisa dijawab bahwa film “EVA: Pendakian Terakhir” hanya sepenggal cerita yang lahir dari alasan ‘terpinspirasi dari kisah nyata’ – katanya. Eksplorasi drama yang cukup kental pada babak pertama cerita, tanpa suspense hanya membuang waktu.

Ketelitian memboyong arah plot cerita pada naskah polesan naskah film yang ditulis oleh Baskoro Adi Wuryanto dan Imam Salimi juga menjadi masalah dalam mengarahkan plot yang solid.

Demikianpun, persoalan sound effect kejut alias Jump-scare, adalah teknik lama untuk di sematkan cukup banyak. Kenapa tidak elemen scoring yang ‘pas’ saja di sematkan agar bias mengkawal visualnya, supaya energi suspense dan hroronya lebih terasa?.

Film “EVA: Pendakian Terakhir” perlu unsur suspense yang kuat untuk membangun kengeriannya, begitulah semestinya naskah mengalir.

Aksen ‘Jawa’ sedikit medok, yang awalnya di lontarkanpun oleh lima anak muda,; Eva ( Bulan Sutena), Pasha (Kiesha Alvaro), Nisa (Ashira Zamita), Vicky (Ilham Aji Santoso) dan Joni (Axel Matthew Thomas), itu juga tidak bertahan lama. Pasha (Kiesha Alvaro) yang seharusnya tampil elok saat satu frame dengan Eva sebagai pesangan kekasih, juga belum menghasilkan chemistry secara visual.

Bahkan performa Bulan Sutena di awal film yang cukup baik, pada akhirnya tidak terkelola dengan baik hingga babak akhir. Bulan Sutena dan Eva alhasil hanya sebuah sampul hubungan antara aktor dan tokoh saja, tidak lebih.