
POJOKSINEMA – Film “Eva: Pendakian Terakhir” memang tak jauh berbeda dengan kebanyakan genre horror survival yang tayang di tanah air.
Hanya saja film arahan Dedy Mercy ini perlu penataan yang tidak terburu-buru.
Yang saya (penulis) maksud adalah detail cerita yang sesungguhnya. Artinya “EVA: Pendakian Terakhir” perlu bijak untuk menata bagan cerita manakah yang hendak di khusukkan sebagai konsentrasi plot. Pasalnya cerita ini terpecah menjadi beberapa kepentingan.
Semisal Eva ( Bulan Sutena) yang menjadi yatim piatu setelah ditinggal mati orang tua. Lalu sosok Tentri yang kerasukan iblis, juga kehadiran setan penghuni hutan di gunung, yang memecah konsentrasi plot.
Latar Eva sebenarnya bisa dikelola untuk menjadi substansial cerita yang lebih komersil. Namun rupanya, film ini lebih mengarah kepada misi penyelamatan diri sendiri yang dilakukan Eva dan empat rekannya di tengah pendakian gunung.
Progam SISS Tekomsel Melalui MAXStream Studios Dukung Sineas Muda
Dari judul sebenarnya cukup komersil, bagaimana penyematan rangkaian kata dalam judul tersebut menimbulkan ekspektasi bahwa teror menakutkan dan mengerikan akan terjadi saat mereka mendaki gunung. Namun sayangnya, eksekusi cara bertutur yang melayang menjadi sebuah plot cerita yang ‘crange’ di cerna.
Meski demikian, film ini cukup bersahaja dengan tujuannya menghibur penonton mulai 16 Januari mendatang. Nilai lebihnya, para aktornya juga tidak buruk menampilkan kualitasnya. Begitupun yang harus saya puji adalah elemen dialog.
Cara bertutur dalam dialognya sangat santun, tanpa menggunakan kata ‘Gue” dan “Lo”, inilah yang patut saya akui keberaniannya.
Problemnya adalah ekspektasi yang tidak bisa dijawab bahwa film “EVA: Pendakian Terakhir” hanya sepenggal cerita yang lahir dari alasan ‘terpinspirasi dari kisah nyata’ – katanya. Eksplorasi drama yang cukup kental pada babak pertama cerita, tanpa suspense hanya membuang waktu.